BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Korupsi adalah suatu tindak pidana yang merugikan
banyak pihak. Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan
beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan
pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi
atau orang lain secara tidak sah.
Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini
bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan
kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah merepresentasikan jati diri
bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi yang telah menjadi hal yang biasa
bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga kaum elite.
Banyak kasus korupsi yang sampai sekarang tidak
diketahui ujung pangkalnya Korupsi tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari
apa yang dinamakan kekuasaan. Di mana ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini
telah menjadi kodrat dari kekuasaan itu sendiri, yang menjadi “pintu masuk”
bagi terjadinya tindakan korupsi. Kekuasaan dan korupsi yang selalu
berdampingan, layaknya dua sisi mata uang, merupakan hakikat dari pernyataan
yang disampaikan oleh Lord Acton, dari Universitas Cambridge, “Power tends to
corrupt, and absolute power corrupt absolutely.
Terdapat sebuah postulat yang mengatakan bahwa
korupsi selalu mengikuti watak kekuasaan. Dalam artian bahwa korupsi itu ada
baik di pemerintahan yang sentralistik maupun desentralistik. Jika pemerintahan
suatu negara adalah sentralistik, korupsi juga akan bersifat sentralistik.
Semakin kuat kekuasaan itu tersentral, semakin besar pula terjadi kasus korupsi
di kekuasaan pusat tersebut. Di Indonesia, hal ini terjadi pada masa Orde Baru.
Sebaliknya, jika pemerintahan suatu negara adalah desentralistik, misalnya
dengan Otonomi Daerah, tindakan korupsi akan tersebar pula mengikuti pola
pemerintahan desentralistik tersebut. Dengan kata lain, praktek korupsi juga
terjadi di pemerintahan tingkat daerah. Karena kekuasaan berpindah dari satu
pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya
berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Situasi
seperti ini terjadi pada masa sekarang di Indonesia (Lihat Agus Suradika, 2009:
1)
Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai prilaku
yang menyimpang merupakan suatu tindakan yang melanggar aturan etis formal yang
dilakukan oleh seseorang dalam posisi otoritas publik (penguasa). Korupsi
cenderung dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa atau wewenang terhadap
sesuatu. Apabila seseorang tersebut tidak memiliki kuasa, kecil kemungkinan
bagi dirinya untuk melakukan korupsi. Namun, merupakan suatu kemustahilan bagi
manusia yang tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama
dari korupsi adalah tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan dan
keuntungan pribadi semata dan merugikan pihak lain di luar dirinya. Contoh
paling mudah adalah seorang mahasiswa yang bolos kuliah dan meminta temannya
untuk mengisi buku hadir. Sejatinya, ia telah melakukan korupsi karena ia
memiliki kuasa terhadap kehadiran dan ketidakhadiran dirinya di dalam kelas.
Dia melakukan tindakan tersebut untuk kepentingannya sendiri.
Melihat konteks kasus-kasus korupsi yang terjadi di
Indonesia, korupsi kelas kakap, merupakan korupsi serius yang merugikan negara
dan masyarakat banyak. Korupsi yang dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah
kekuasaan. Para pejabat publik telah dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya
untuk melakukan tindakan melanggar hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang
pejabat publik yang memegang kekuasaan (memiliki wewenang) secara otomatis
memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan. Sesuai dengan
sifat dari kekuasan (kekuasaan politik) itu, yaitu mengendalikan tingkah laku
manusia (masyarakat) secara koersif (memaksa) agar supaya masyarakat bersedia
tunduk kepada negara (pemerintah). Dalam hal ini, setiap kebijaksanaan yang
diberlakukan sejatinya merupakan sebuah ketentuan atau aturan yang sesuai
dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari sini lah peluang untuk
terjadinya tindakan korupsi besar sekali.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
penjelasan dari latar belakang di atas, maka timbul pertanyaan sebagai berikut
:
1. Apa
sajakah penyebab korupsi dalam perspektif teori...?
2. Bagaimana
penyebab korupsi dalam faktor internal dan eksternal...?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENYEBAB
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF TEORI
Korupsi Secara etimologi, kata korupsi berasal dari
bahasa Latin, yaitu corruptus yang merupakan kata sifat dari kata kerja
corrumpere yang bermakna menghancurkan corupsio memiliki arti intensif atau
keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau
menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara
harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara
intensif.
Menurut Arya Maheka, Faktor-Faktor yang menyebabkan
terjadinya Korupsi adalah :
1. Penegakan
hukum tidak konsisten :
penegakan huku hanya
sebagai meke-up politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap pergantian
pemerintahan. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh
bila tidak menggunakan kesempatan.
2. Langkahnya
lingkungan yang antikorup :
sistem dan pedoman
antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.Rendahnya pendapatan
penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan
penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi
dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
3. Kemiskinan,
keserakahan :
masyarakat kurang mampu
melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan
melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan keuntungan. Budaya member upeti, imbalan jasa dan
hadiah.
4. Konsekuensi
bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi :
saat tertangkap bisa
menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan
hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap.
5. Budaya
permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu :
menganggap biasa bila
ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal
kepentingannya sendiri terlindungi.
6. Gagalnya
pendidikan agama dan etika :
ada benarnya pendapat Franz Magnis
Suseno bahwa agama telah gagal menjadi
pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang
memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada
masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi
dalam memainkan peran sosial. Menurut
Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi
lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan pemeluk agama tersebut
jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang
sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain.
Sejatinya, ada begitu banyak pengertian
dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli.
Huntington (1968) memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat
publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan
perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah
tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk
keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Korupsi juga sering dimengerti
sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi.
Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip
“mempertahankan jarak”. “Mempertahankan jarak” ini maksudnya adalah dalam
mengambil sebuah keputusan, baik di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya,
permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga tidak memainkan peran
Nye, J.S. (1967) dalam “Corruption and
political development” mendefiniskan korupsi sebagai prilaku yang menyimpang
dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi
otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti
kekayaan, kekuasaan dan status.
Amin Rais, dalam sebuah makalah berjudul
“Suksesi sebagai suatu Keharusan”, tahun 1993, membagi jenis korupsi menjadi
empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif (extortive corruption), yaitu korupsi
yang merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat
memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya.
Misalnya, seorang pengusaha dengan sengaja memberikan sogokan pada pejabat
tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usaha sang
penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah. Kedua, korupsi
manipulatif (manipulative corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada usaha
kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan
pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya
pemberian uang kepada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang
dibuat dapat menguntungkan pihak tertentu yang memberikan uang tersebut
Peraturan ini umumnya dapat merugikan masyarakat banyak. Ketiga, korupsi
nepotistik (nepotistic corruption), yaitu perlakuan istimewa yang diberikan
pada keluarga: anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam
setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa itu para anak, menantu, keponakan dan
istri sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat, korupsi subversif
(subversive cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang
dilakukan oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang dan
kekuasaannya.
Mengutip teori yang dikemukakan oleh
Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
1. Greeds
(keserakahan) :
berkaitan dengan adanya
perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
2. Opportunities
(kesempatan) :
berkaitan dengan
keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga
terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
3. Needs
(kebutuhan) :
berkaitan dengan
faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya
yang wajar.
4. Exposures
(pengungkapan) :
berkaitan dengan tindakan atau
konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan
melakukan kecurangan.
Faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan
dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam
organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan
pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan
dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat
yang kepentingannya dirugikan.
Begitu parahnya perilaku Korupsi di
negeri ini, sampai-sampai muncul anekdot bahwa di negeri ini jika kita
melakukan hal yang benar malah dianggap salah.
Banyak faktor penyebab korupsi. Secara umum
faktor penyebab korupsi dapat dibagi menjadi Dua yaitu Faktor Internal dan
Faktor Eksternal. m.arifin membagi dua faktor peyebab orang melakukan
korupsi.faktor tersebut yaitu internal dan eksternal .yang di maksud faktor
internal dan eksternal.
B. FAKTOR
INTERNAL
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari
dalam diri seseorang.
Persepsi
terhadap korupsi. Pemahaman seseorang mengenai korupsi tentu berbeda-beda.
Menurut Pope (2003/2007), salah satu penyebab masih bertahannya sikap primitif
terhadap korupsi karena belum jelas mengenai batasan bagi istilah korupsi,
sehingga terjadi ambiguitas dalam melihat korupsi.
Kualitas moral dan integritas individu. Adanya sifat
serakah dalam diri manusia dan himpitan ekonomi serta self esteem yang rendah
juga dapat membuat seseorang melakukan korupsi.
Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab
terjadinya korupsi adalah sebagai berikut:
a. peninggalan
pemerintahan kolonial.
b. kemiskinan
dan ketidaksamaan.
c. gaji
yang rendah.
d. persepsi
yang popular.
e. pengaturan
yang bertele-tele.
f. pengetahuan
yang tidak cukup dari bidangnya.
Menurut bidang psikologi ada dua teori
yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu teori medan dan teori big five
personality. Menurut Lewin (dikutip dalam Sarwono, 2008) teori medan adalah
perilaku manusia merupakan hasil dari interaksi antara faktor kepribadian
(personality) dan lingkungan (environment) atau dengan kata lain lapangan
kehidupan seseorang terdiri dari orang itu sendiri dan lingkungan, khususnya
lingkungan kejiwaan (psikologis) yang ada padanya. Melalui teori ini, jelas
bahwa perilaku korupsi diapat dianalisis maupun diprediksi memiliki dua opsi
motif yakni dari sisi lingkungan atau kepribadian individu terkait.
Teori yang kedua adalah teori big five
personality. Menurut Costa dan McCrae (dikutip dalam Feist & Feist, 2008),
big five personality merupakan konsep yang mengemukakan bahwa kepribadian
seseorang terdiri dari lima faktor kepribadian, yaitu extraversion,
agreeableness, neuroticism, openness, dan conscientiousness.
Selain faktor-faktor internal di atas,
terdapat faktor-faktor internal lainnya.faktor tersebut yaitu :
a. Aspek
Perilaku Individu:
1. Sifat
Tamak/Rakus Manusia
Korupsi yang dilakukan
bukan karena kebutuhan primer, yaitu kebutuhan pangan. Pelakunya adalah orang
yang berkecukupan, tetapi memiliki sifat tamak, rakus, mempunyai hasrat
memperkaya diri sendiri. Unsur penyebab tindak korupsi berasal dari dalam diri sendiri yaitu sifat
tamak/rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
2. Moral
yang kurang kuat
Orang yang moralnya
kurang kuat mudah tergoda untuk melakukan tindak korupsi. Godaan bisa datang
dari berbagai pengaruh di sekelilingnya, seperti atasan, rekan kerja, bawahan,
atau pihak lain yang memberi kesempatan.
3. Gaya hidup yang konsumtif
Gaya hidup di kota
besar mendorong seseorang untuk berperilaku konsumptif. Perilaku konsumtif yang
tidak diimbangi dengan pendapatan yang sesuai, menciptakan peluang bagi
seseorang untuk melakukan tindak korupsi.
b. Aspek
Sosial
Keluarga dapat menjadi pendorong
seseorang untuk berperilaku koruptif. Menurut kaum bahviouris, lingkungan
keluarga justru dapat menjadi pendorong seseorang bertindak korupsi,
mengalahkan sifat baik yang sebenarnya telah menjadi karakter pribadinya.
Lingkungan justru memberi dorongan bukan hukuman atas tindakan koruptif
seseorang.
C. FAKTOR
EKSTERNAL
Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari
luar diri seseorang. Hukum. Sistem hukum di Indonesia untuk memberantas korupsi
masih sangat lemah. Menurut Pope (2003/2007), hukum tidak dijalankan sesuai
prosedur yang benar, aparat mudah disogok sehingga pelanggaran sangat mudah
dilakukan oleh masyarakat.Politik Monopoli kekuasaan merupakan sumber korupsi,
karena tidak adanya kontrol oleh lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat.
Budaya Menurut Pope (2003/2007), KKN yang masih
sangat tinggi dan tidak adanya sistem kontrol yang baik menyebabkan masyarakat
menganggap bahwa korupsi merupakan suatu hal yang sudah biasa terjadi.
Sosial Lingkungan sosial juga dapat mempengaruhi
seseorang untuk melakukan korupsi. Korupsi merupakan budaya dari pejabat lokal
dan adanya tradisi memberi yang disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.
Ada aspek-aspek yang membuat orang-orang melakukan
korupsi. Aspek tersebut meliputi :
a. Aspek
Sikap Masyarakat terhadap Korupsi
Dalam
sebuah organisasi, kesalahan individu sering ditutupi demi menjaga nama baik organisasi.
Demikian pula tindak korupsi dalam sebuah organisasi sering kali
ditutup-tutupi. Akibat sikap tertutup ini, tindak korupsi seakan mendapat
pembenaran, bahkan berkembang dalam berbagai bentuk. Sikap masyarakat yang
berpotensi memberi peluang perilaku korupsi antara lain:
1. Nilai-nilai
dan budaya di masyarakat yang mendukung untuk terjadinya korupsi. Misalnya
masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Akibatnya
masyarakat menjadi tidak kritis terhadap kondisi, seperti dari mana kekayaan
itu berasal.
2. Masyarakat
menganggap bahwa korban yang mengalami kerugian akibat tindak korupsi adalah
Negara. Padahal justru pada akhirnya kerugian terbesar dialami oleh masyarakat
sendiri. Contohnya akibat korupsi anggaran pembangunan menjadi berkuran,
pembangunan transportasi umum menjadi terbatas misalnya.
3. Masyarakat
kurang menyadari bila dirinya terlibat dalam perilaku korupsi. Setiap tindakan
korupsi pasti melibatkan masyarakat, namun masyarakat justru terbiasa terlibat
dalam tindak korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
4. Masyarakat
kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan diberantas bila masyarakat
ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi. Umumnya
masyarakat menganggap bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah
tanggung jawab pemerintah.
b. Aspek
Ekonomi
Aspek
Ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi. Pendapatan yang
tidak dapat memenuhi kebutuhan atau saat sedang terdesak masalah ekonomi
membuka ruang bagi seseorang untuk melakukan jalan pintas, dan salah satunya
adalah korupsi.
c. Aspek
Politis
Politik uang (money politics) pada Pemilihan
Umum adalah contoh tindak korupsi, yaitu seseorang atau golongan yang membeli
suatu atau menyuap para pemilih/anggota partai agar dapat memenangkan pemilu.
Perilaku korup seperti penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering
terjadi. Terkait hal itu Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa
politik uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political
influence (menggunakan uang dan keuntungan material untuk memperoleh pengaruh
politik). Penyimpangan pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha,
kongsi antara penguasa dan pengusaha, kasus-kasus pejabat Bank Indonesia dan
Menteri di bidang ekonomi pada rezim lalu dan pemberian cek melancong yang
sering dibicarakan merupakan sederet kasus yang menggambarkan aspek politik
yang dapat menyebabkan kasus korupsi (Handoyo: 2009).
d. Aspek
Organisasi
Organisasi
dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi
atau di mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan
terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Aspek-aspek penyebab korupsi dalam sudut
pandang organisasi meliputi:
1. Kurang
adanya sikap keteladanan Pemimpin
Pemimpin adalah panutan
bagi bawahannya. Apa yang dilakukan oleh pemimpin merupakan contoh bagi
bawahannya. Apabila pemimpin memberikan contoh keteladanan melakukan tindak
korupsi, maka bawahannya juga akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.
2. Tidak
Adanya Kultur/Budaya Organisasi yang Benar
Organisasi harus
memiliki Tujuan Organisasi yang fokus dan jelas. Tujuan organisasi ini menjadi pedoman
dan memberikan arah bagi anggota organisasi dalam melaksanakan kegiatan sesuati
tugas dan fungsinya. Tujuan organisasi menghubungkan anggotanya dengan berbagai
tat-cara dalam kelompok; juga berfungsi untuk membantu anggotanya menentukan
cara terbaik dalam melaksanakan tugas dan melakukan suatu tindakan. Tatacara
pencapaian tujuan dan pedoman tindakan inilah kemudian menjadi kultur/budaya
organisasi. Kultur organisasi harus dikelola dengan benar, mengikuti
standar-standar yang jelas tentang perilaku yang boleh dan yang tidak boleh.
Kekuatan pemimpin menjadi penentu karena memberikan teladan bagi anggota
organisasi dalam mebentuk budaya organisasi. Peluang terjadinya korupsi apabila
dalam budaya organisasi tidak ditetapkan nilai-nilai kebenaran, atau bahkan
nilai dan norma-norma justru berkebalikan dengan norma-norma yang berlaku
secara umum (norma bahwa tindak korupsi adalah tindakan yang salah).
3. Kurang
Memadainya Sistem Akuntabilitas
Dalam sebuah organisasi
perlu ditetapkan visi dan misi yang diembannya, yang dijabarkan dalam rencana
kerja dan target pencapaiannya. Dengan cara ini penilaian terhadap kinerja
organisasi dapat dengan mudah dilaksanakan. Apabila organisasi tidak merumuskan
tujuan, sasaran, dan target kerjanya dengan jelas, maka akan sulit dilakukan
penilaian dan pengukuran kinerja. Hal ini membuka peluang tindak korupsi dalam
organisasi.
4. Kelemahan
Sistem Pengendalian Manajemen
Pengendalian manajemen
merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah
organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi
semakin terbuka peluang tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
5. Pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu
pengawasan internal
(pengawasan fungsional
dan pengawasan langsung oleh pemimpin) dan pengawasan yang bersifat eksternal
(pengawasan dari legislatif dalam hal ini antara lain KPKP, Bawasda, dll dan
masyarakat). Pengawasan ini kurang berfungsi secara efektif karena beberapa
faktor seperti tumpang tindihnya pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya
profesional pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun
pemerintah oleh pengawas itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Korupsi adalah kejahatan atau penyimpangan berupa
pelanggaran hukum yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi, di mana tindakan tersebut
menimbulkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat.
Korupsi pada dasarnya dapat terjadi kapan saja dan
di mana saja, menyentuh semua kalangan
di dalam masyarakat. Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Korupsi merupakan
akibat dari sebuah situasi kondisi di mana seseorang membutuhkan penghasilan
lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang dia peroleh jika menjalankan usaha
dengan cara-cara yang sah. Korupsi merupakan tindakan yang tidak lepas dari
pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh individu maupun kelompok,
dan dilaksanakan baik sebagai kejahatan
individu (professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan korporasi
(dilakukan denga kerjasama antara berbagai pihak yang ingin mendapatkan
keuntungan sehingga membentuk suatu struktur organisasi yang saling melindungi
dan menutupi keburukan masing-masing). Korupsi merupakan cerminan dari krisis
kebijakan dan representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.
B. SARAN
Semua faktor-faktor itu sangat mempengaruhi diri
individu untuk melakukan kejahatan: korupsi. Hal ini disebabkan kurangnya rasa
kesadaran akan pentingnya tanggung jawab moral bagi mereka yang memiliki
jabatan dan kekuasaan. Oleh karena itu, meskipun terkesan sebagai mimpi dan
harapan yang muluk, memperbaiki kesadaran seseorang dan mengembalikan rasa
tanggung jawab moralnya adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk mencegah
dan menghentikan korupsi di negeri ini.
Pendidikan
agama dan aksi memperkuat iman adalah metode yang mesti ditingkatkan demi
mendapatkan orang-orang yang memiliki hati nurani bersih dan mau bekerja demi
kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Mustofa,
Muhammad. kleptokrasi: Persengkongkolan
Birokrat-Korporat sebagai Pola White-Collar Crime di Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2010.
Budiarjo,
Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan
ke duapuluh tujuh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005
Suradika,
Agus. RELASI KORUPSI DAN KEKUASAAN: Antara
Cermin Budaya dan Penanggulangannya,
http://www.docstoc.com/docs/5936230/Agus-Suradika-Korupsi-dan-Kekuasaan,
diakses tanggal 7 Desember, 2010
Nasution,
S. A. Korupsi dan kekuasaan, kolom Opini.
Waspada Online. http://www.waspada.co.id/index.php/images/flash/index.php?option=com_content&view=article&id=81290:korupsi-dan-kekuasaan&catid=25:artikel&Itemid=44,
diakses tanggal 7 Desember, 2010.
Rastika,
Icha. Andi Kosasih Dituntut 10 Tahun.
Kompas.com 23 November 2010. http://nasional.kompas.com/read/2010/11/23/16344531/Andi.Kosasih.Dituntut.10.Tahun,
diakses tanggal 7 Desember, 2010.
Taufiqqurahman,
Muhammad. Mencari Jejak Gayus Tambunan di
Warakas. detikNews 24 Maret 2010.
http://www.detiknews.com/read/2010/03/24/104528/1324145/10/mencari-jejak-gayus-tambunan-di-warakas,
diakses tanggal 7 Desember 2010.
semoga artikelnya bermanfaat..dengan memahami faktor penyebab korupsi mari kita jauhkan negeri tercinta ini dengan namanya korupsi....setujuuu
BalasHapus